PENGARUH
SUHU,SLINITAS,ARUS,CAHAYA DAN UPWELLING TERHADAP IKAN
1. Suhu
1.1. pengertian suhu
Suhu
adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudera, suhu bervariasi secara
horizontal sesuai garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan
kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara
kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang
relative sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa
ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu
juga sangat penting bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu
mempengaruhi baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut.
Oleh karena itu, tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang
terdapat di berbagai tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap
suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut
bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut
bersifat stenoterm. Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu
mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang
hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang
berada pada suhu yang cocok, memiliki selera makan yang lebih baik.
Beberapa ahli mengemukakan tentang suhu :
v Nontji
(1987), menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh
sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut
pada umumnya.
v Hela
dan Laevastu (1970), hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai
suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu
spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat
digunakan untuk tujuan perikanan.
v Nybakken
(1988), sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh
dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa
Sebagian besar organisme laut bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat
dipengaruhi suhu massa air sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran
organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu laut secara geografik.
Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut dan penyebaran organisme secara
keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi 4 zona biogeografik utama yaitu:
Ø kutub,
Ø tropic,
Ø beriklim
sedang panas dan
Ø beriklim
sedang dingin.
Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini,
tetapi tidak mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan
musim. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada
kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan
ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus
Edisi 425, 2005).
Oksigen terlarut pada
air yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari
ikan akan semakin tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa
ikan yang mampu hidup suhu yang sangat ekstrim. Dari data satelit NOAA, contoh
jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan ikan pelagis.
Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah suhu
perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan
memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan
aktivitas lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan
cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C,
Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C.
1.2. Pengaruh suhu terhadap
ikan
Menurut Laevastu dan
Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme,
seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan
renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan
paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau
memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan arus
selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting yang
menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan
yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan
(spawning ground) selama musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di
daerah lain daripada di daerah tersebut.
1.3. Dampak suhu terhadap
ikan
Suhu berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa.
Suhu air akan berpengaruh terhadap proses penetasan telur dan perkembangan
telur. Rentang toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda
untuk setiap jenis/spesies ikan, hingga stadia pertumbuhan yang berbeda. Suhu
memberikan dampak sebagai berikut terhadap ikan :
a) Suhu
dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
b) Peningkatan
aktivitas metabolisme ikan
c) Penurunan
gas (oksigen) terlarut
d) Efek
pada proses reproduksi ikan
e) Suhu
ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan. (Anonim, 2009. SITH ITB)
2. Salinitas
Salinitas didefinisikan
sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan
dalam satuan 0/00 (per mil, gram perliter). Di perairan samudera, salinitas
berkisar antara 340/00 – 350/00. Tidak semua organisme laut dapat hidup di air
dengan konsentrasi garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2 kelompok
organisme laut, yaitu organisme euryhaline, yang toleran terhadap perubahan
salinitas, dan organisme stenohaline, yang memerlukan konsentrasi garam yang
konstan dan tidak berubah. Kelompok pertama misalnya adalah ikan yang
bermigrasi seperti salmon, eel, lain-lain yang beradaptasi sekaligus terhadap
air laut dan air tawar. Sedangkan kelompok kedua, seperti udang laut yang tidak
dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim. (Reddy, 1993).
Salinitas merupakan
salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara
langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme antara lain yaitu mempengaruhi
laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan
daya kelangsungan hidup. (Andrianto, 2005).
2.1. Sebaran salinitas di
laut
dipengaruhi oleh
beberapa faktor menurut (Nontji, 1993) :
Ø pola
sirkulasi air,
Ø penguapan,
Ø curah
hujan, dan
Ø aliran air sungai.
Di perairan lepas
pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga
membentuk lapisan homogen sampai kedalaman 50-70 meter atau lebih tergantung
dari intensitas pengadukan.Di lapisan dengan salinitas homogen suhu juga
biasanya homogen, baru di bawahnya terdapat lapisan pegat dengan degradasi
densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan
lapisan bawah. (Nontji, 1993).
Salinitas mempunyai
peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan
termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan
penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.
Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas :
1. Penguapan,
makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya
tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya,
maka daerah itu rendah kadar garamnya.
2. Curah
hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air
laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun
salinitas akan tinggi.
3. Banyak
sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang
bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan
sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka
salinitasnya akan tinggi.
Distribusi salinitas
permukaan juga cenderung zonal. Air laut bersalinitas lebih tinggi terdapat di
daerah lintang tengah dimana evaporasi tinggi. Air laut lebih tawar terdapat di
dekat ekuator dimana air hujan mentawarkan air asin di permukaan laut,
sedangkan pada daerah lintang tinggi terdapat es yang mencair akan menawarkan
salinitas air permukaannya.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula
melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira
setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di perairan
dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan
salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat
lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang
menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya. Di bawah lapisan
homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh
pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa
air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran
salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer
method).
Volume air dan
konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan dipengaruhi oleh konsentrasi garam
pada lingkungan lautnya. Untuk beradaptasi pada keadaan ini ikan melakukan
proses osmoregulasi, organ yang berperan dalam proses ini adalah insang dan
ginjal. Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada perbedaan
konsentrasi garam yang ada antara lingkungan eksternal dan fluida dalam tubuh
ikan. Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi
tergantung tahap kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa.
Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi
pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup. (Reddy, 1993).
3. Arus
Arus laut adalah gerakan massa air laut dari satu
tempat ke tempat lain.
Arus laut dapat terjadi karena :
o perbedaan
salinitas, massa air laut,
o tiupan
angin
o pasang
surut, atau perbedaan permukaan samudera.
Arus karena perbedaan
salinitas terjadi di kedalaman laut dan tidak dapat dilihat gejalanya dari
permukaan laut. Di permukaan samudera, arus laut terjadi terutama karena tiupan
angin. Arus yang terjadi di permukaan samudera memiliki pola-pola tertentu yang
tetap. Di tempat-tempat tertentu arus laut terjadi kerana perbedaan ketinggian
permukaan samudera. Di teluk-teluk atau muara sungai, arus dipengaruhi oleh
pasang surut.
3.1. Pengaruh arus terhadap keberadaan ikan
Arus sangat
mempengaruhi penyebaran ikan, hubungan arus terhadap penyebaran ikan adalah
arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dan daerah pemijahan ke
daerah pembesaran dan ke tempat
mencari makan. Migrasi ikan-ikan dewasa disebabkan arus,
sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; tingkah laku ikan
dapat disebabkan arus, khususnya arus pasut, arus secara langsung dapat
mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi
pengelompokan makanan. (Lavastu dan Hayes 1981).
Ikan bereaksi secara
langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan
mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ
mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptor
adalah reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi
perubahan mekanis dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan.
Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus. (Reddy, 1993).
Fishing ground yang
paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah
upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi
oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan
distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada
kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada
pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di
tengah-tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan
pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddi (melalui rantai makanan). (Reddy,
1993).
4. Cahaya
Disebutkan
bahwa cahaya merangsang dan menarik ikan (fototaxis positif), sifat
fototaxis ini dapat berubah – ubah tergantung kepada tingkathidup dan
kedewasaan jenis ikan itu sendiri (Brand, 1964).
Ikan tertarik oleh cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui
otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut
phototaxis. Dengan demikian, ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan
fhototaxis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis.
Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah penyesuaian
intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk menerima cahaya. Dengan
demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber cahaya sangat
berbeda-beda. Ada ikan yang sangat senang pada intensitas cahaya yang rendah,
tetapi ada pula ikan yang senang terhadap intensitas cahaya yang tinggi.
Menurut Nikonorov (1975), menyatakan bahwa tingkah laku ikan di bawah sumber
cahaya lampu, adalah tidak normal karena ikan tidak dapat meninggalkan sumber
cahaya lampu, bahkan kadang – kadang terdapat keganjilan, misalnya ada
beberapa tingkah laku ikan yang terlihat mendekati sumber cahaya,
kemudian berenang cepat sekali sambil berputar – putar mengelilingi sumber
cahaya, sesudah itu berlompatan ke atas permukaan.
Menurut Ben Yami, M (1976) bahwa adanya cahaya bulan dalam light
fishingmemberikan pengaruh negatif, cahaya bulan membuat ikan menjadi
enggan, bahkan tidak lagi tertarik pada cahaya lampu. Hal ini disebabkan karena
penerangan cahaya lampu berkurang oleh adanya cahaya bulan,
Laevastu dan Hela (1970), menyatakan bahwa dengan diketahui sifat fototaxis,
maka biasanya penangkapan ikan akan lebih efektif di lakukan sebelum tengah
malam, hal ini disebabkan adanya memanjang dan memendekannya sel – sel kerucut
retina mata ikan. Jenis – jenis ikan yang mudah ditarik dan dikumpulkan dengan
cahaya lampu antara lain : Ikan Lemuru (Sardinella longiceps), Ikan
Layang (Decapterus russeli), Ikan Kembung(Rastrelliger,
sp), Cumi – cumi (Loligo sp) dan ikan lainnya.
Subani (1972) menyatakan bahwa pada waktu bulan purnama tingkat keberhasilan
penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya lampu biasanya rendah. Hal ini
karena cahaya terbagi rata, padahal penangkapan ikan dengan lampu diperlukan
keadaan gelap guna menarik ikan – ikan ke titik yang terang.
Menurut laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa ikan – ikan pelagis hanya
berkumpul pada suatu titik cahaya selama 1 – 2 jam setelah itu ikan akan
menyebar menjauhi cahaya. Hal ini disebabkan karena ikan – ikan sudah kenyang
atau juga adanya pemangsa (predator) yang berputar – putar
mengililingi cahaya lampu serta berlompatan ke permukaan perairan.
Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), bahwa
dengan menggunakan cahaya lampu sebagai pemikat ikan maka
a.
Nelayan tidak sulit mencari gerombolan ikan.
b.
Hasil tangkapan cenderung lebih pasti jumlahnya, dan
meningkat.
c.
Menghemat waktu dan lain – lainnya.
Usemahu dan Tomasila (2003) menyatakan agar
penangkapan dengan cahaya lampu dapat memberikan hasil dan daya guna yang
maksimal diperlukan syarat – syarat antara lain sebagai berikut ;
a. Mampu
mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh.
b. Ikan
– ikan tersebut hendaklah akan tertangkap (catchable area).
c.
Setelah ikan terkumpul, hendaklah ikan –ikan
tersebut tetap berada di san pada suatu
jangka waktu tertentu, dan
d. Sekali
ikan terkumpul pada sumber cahaya hendaklah ikan – ikan tersebut tidak
melarikan diri ataupun menyebarkan diri (berserakan).
4.1. Pengaruh cahaya
Ikan
bersifat fototaktik (responsif terhadap cahaya) baik secara positif maupun
negatif. Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan pada malam hari, satu
fakta yang digunakan dalam penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain dan pada beberapa spesies
bervariasi terhadap waktu dalam sehari. Secara umum, sebagian besar ikan
pelagis naik ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah matahari terbenam,
ikan-ikan ini menyebar pada kolom air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam
setelah matahari terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu siang hari
di dasar selanjutnya naik dan menyebar pada kolom air pada malam hari.
Cahaya
mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah cahaya yang
tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan. Jumlah cahaya juga
mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga
berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan cahaya. Cahaya juga mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan
beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak pada malam hari dibandingkan
pada siang hari. (Reddy, 1993).
5. Upwelling
5.1.
Pengertian Upwelling
Upwelling adalah
penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan
naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan
zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993). Menurut Barnes (1988),
proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu :
1. Pertama,
pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean
ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut
dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
2. Kedua,
ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di
utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak
ke selatan di bawah pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan
menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana massa
air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi
ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena adanya
divergensi pada perairan laut tersebut.
3. Ketiga,
upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan
angin darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa
air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah
pantai yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya
produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena terjadinya proses
air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang
suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat
hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan. (Nontji,
1993).
5.2. Meningkatnya
densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan
oleh
ketersediaan makanan
yang cukup untuk larva dan ikan kecil dan besar.
Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling. Perairan upwelling dicirikan dengan nilai suhu permukaan
laut yang rendah di bawah 28°C
dan diikuti naiknya kandungan klorofil-a (0.8 - 2.0 mg).
Berdasarkan beberapa penelitian, upwelling di
Indonesia terjadi antara lain :
1. di Samudra Hindia
selatan
2. Pulau Jawa
3. Nusa Tenggara
Barat
4. Sumatra,
5. laut di Kepulauan Maluku,
6. Selat Makasar,
perairan Kepulauan Selayar, Laut Banda dan Laut Arafura.
Pergerakan massa air yang disebabkan oleh
perubahan iklim musiman (monsoon)
juga berperan dalam penyebaran (migrasi) ikan terutama
jenis pelagis. Wilayah yang di pengaruhi oleh fenomena ini adalah
1. Proses pelepasan material (discharge) yang beragam dari pantai ke
laut merupakan fenomena oseanografi yang berpotensi
dapat menurunkan kualitas air.
2. Selanjutnya di khawatirkan akan mengganggu kese imbangan ekosistem pesisir serta penurunan potensi sumberdaya perikanan laut.
5.3. Tipe upwelling
setidaknya
ada 5 tipeUpwelling, yaitu :
1. Coastal
upwelling
Merupakan upwelling yang paling umum diketahui, karena
membantu aktivitas manusia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Upwelling ini terjadi karena, efek coriolis yang membelokan angin kemudian
permukaan laut akan terbawa oleh angin menjauhi pesisir, sehingga air laut
dalam yang mengadung nutrien sangat tinggi, akan menggantikan air permukaan
yang terbawa olehangin.
Daerah yang sering terjadi coastal upwelling adalah pesisir Peru, Chili, Laut
Arabia, Barat Daya Afrika, Timur New Zealand, Selatan Brazil, dan pesisir
California
2. Equatorial
Upwelling
Serupa
dengan coastal upwelling namun, lokasi terjadi berada di daerah equator.
3. Southern
Ocean Upwelling
Upwelling yang disebabkan oleh angin yang berhembus
dari barat bertiup ke arah timur di daerah sekitar Antartica membawa air dalam
jumlah yang sangat besar ke arah utara. Upwelling ini serupa dengan coastal
upwelling, namun berbeda dalam lokasi, karena pada daerah selatan tidak ada
benua atau daratan besar antara Amerika Selatan dan Antartika, sehingga
upwelling ini membawa air dari daerah laut
4. Tropical
Cyclone Upwelling
Upwelling yang disebakan oleh tropical cyclone yang
melewati area. Biasanya hanya terjadi pada cyclone yang memiliki
kecepatan 5 mph (8 km/h).
5. Artificial
Upwelling
Tipe upwelling, yang disebabkan oleh energi gelombang
atau konversi dari energi suhu laut yang dipompakan ke permukaan.
Upwelling jenis ini yang menyebabkan blooming algae Secara ekologis, efek
dari upwelling berbeda-beda, namun ada dua akibat yang utama :
· Pertama, upwelling membawa
air yang dingin dan kaya nutrien dari lapisan dalam, yang mendukung
pertumbuhan seaweed dan blooming phytoplankton. Blooming
phytoplankton tersebut membentuk sumber energi bagi hewan-hewan laut
yang lebih besar termasuk ikan laut,mamalia laut,
serta burung laut.
· Akibat
kedua dari upwelling adalah pada pergerakan hewan.
Kebanyakan ikan laut dan invertebrata memproduksi larva mikroskopis yang
melayang-layang di kolom air. Larva-larva tersebut melayang bersama air untuk
beberapa minggu atau bulan tergantung spesiesnya. Spesies dewasa yang
hidup di dekat pantai, upwelling dapat memindahkan larvanya
jauh dari habitat asli, sehingga mengurangi harapan hidupnya. Upwellingmemang
dapat memberikan nutrien pada perairan pantai untuk produktifitas yang tinggi,
namun juga dapat merampas larva ekosistem pantai yang diperlukan untuk mengisi
kembali populasi pantai tersebut
----Muhammad Ali
Rohman----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar