Kontroversi, Studi Baru Mengungkap Adanya Pelambatan
Perubahan Iklim
Bagi kalangan ilmuwan, hasil studi ini mengejutkan. Sebelumnya, argumen
adanya pelambatan selalu diajukan oleh kalangan yang menyangkal adanya
perubahan iklim
Perdebatan tentang adanya pelambatan
dalam perubahan iklim kembali menghangat. Studi terbaru yang dipublikasikan di
jurnal Nature Climate Change pada Rabu (26/2/2016)
menunjukkan bahwa pelambatan dalam perubahan iklim (tepatnya pemanasan global)
memang ada. Bagi kalangan ilmuwan, hasil studi ini mengejutkan. Sebelumnya,
argumen adanya pelambatan ataupun "pause" selalu diajukan oleh
kalangan yang menyangkal adanya perubahan iklim.
Kini, argumen itu datang dari hasil
riset peneliti top dunia. Peneliti meliputi Gerald Meehl dari National Center
for Atmospheric Research dan Machael Mann dari Pennsylvania State University.
Riset dipimpin oleh John Fyfe dari Canadian Center for Climate Modelling and
Analysis, University of Victoria. (Baca pula Menumbuhkan Kembali Hutan Hujan Bantu Batasi Perubahan Iklim)
Bertentangan dengan
Studi Sebelumnya
Tahun 2015 lalu, sebuah studi telah
menyatakan bahwa pelambatan adau pause dalam perubahan iklim tidak ada. Thomas
Karl dari Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA) dalam
publikasinya di jurnal Science pada 26 Juni
2015 lalu mengungkapkan, pelambatan dalam perubahan iklim adalah produk dari
"sampah" data.
Setelah data dikoreksi, pelambatan itu tak terlihat. Dalam hitungan Karl, laju pemanasan antara tahun 1950 - 1999 adalah 0,113 per dekade. Sementara, laju pemanasan antara tahun 2000 - 2014 adalah 0,116. Jadi, relatif sama. Namun menurut Fyfe dan timnya, justru analisis Karl yang bias.
Setelah data dikoreksi, pelambatan itu tak terlihat. Dalam hitungan Karl, laju pemanasan antara tahun 1950 - 1999 adalah 0,113 per dekade. Sementara, laju pemanasan antara tahun 2000 - 2014 adalah 0,116. Jadi, relatif sama. Namun menurut Fyfe dan timnya, justru analisis Karl yang bias.
Karl dianggap mengabaikan faktor-faktor
yang memengaruhi pemodelan iklim, seperti letusan gunung berapi dan variasi
suhu di Samudera pasifik yang disebut Pacific Decadal Oscillation (PDO). Karl
juga dianggap terlalu berlebihan dalam memasukkan faktor pemanasan matahari
pada awal abad 20. (Baca Negara dengan Sedikit Produksi Gas Rumah Kaca Rentan terhadap Perubahan
Iklim)
Menurut Fyfe, laju pemanasan antara
tahun 1972-2001 adalah 0,170 per dekade sementara antara 2000 - 2014 adalah
0,113. jadi, perbedaannya cukup signifikan.
"Ada ketidakcocokan antara prediksi
perubahan iklim dan yang terobservasi," kata Fyfe. "Kita tak bisa
mengabaikannya."
Dikutif dari : Nasional Geografi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar